Neraka di Atas Meja Kerja

rmolaceh.id

Kriiiingngng!

Dering telepon menggema, memecah kesunyian di dalam ruangan luas yang megah. Di sepanjang dinding, lebih dari sepuluh pendingin ruangan terpasang berjajar, menciptakan suasana sedingin kutub.

Telepon itu berdering untuk seseorang yang dapat melihat, berbicara, maupun mendengar, yang selalu memasang muka tembok—si tuan cuek bebek. Namun, ia memiliki kemampuan unik—mampu menembus amplop dengan pandangannya, mengetahui warna di dalamnya tanpa membuka. Dengan senyum tipis, ia menganggukan kepalanya untuk menyetujui sesuatu, sekaligus acuh terhadap orang-orang yang menurutnya terlalu merepotkan, berisik dan mengganggu kesenangan nikmat dunia yang tiada tara.

Kriiiingngng!!

Hampir lima belas menit telepon itu berdering, tak ada henti-hentinya, mungkin saja sampai sudah melompat-lompat kepanasan di atas meja, keluar dari tempatnya berada. 

Kriiiingngng!!!
"Heh, telepon buat siapa itu? Angkat dong!"

Salah satu bersuara dengan nada geram, seisi ruangan hanya saling menatap, tak ada yang beranjak karena mungkin bokongnya terkena jebakan tikus yang amat lengket, tak ada yang mengangkat, hening—sampai suara desiran udara yang disebabkan pendingin ruangan terdengar jelas. Bahkan, si tuan cuek bebek—diam membisu, pandangannya terfokuskan dengan dokumen-dokumen terbungkus map coklat, tangannya sibuk memegang bolpoin yang sudah dibelinya seribu kali, kupingnya budeg tersumpal bualan.

Kriiingngng!!!

Sudah lebih dari 15 menit telepon itu berbunyi, tak ada yang berani mengangkat. Bahkan, orang-orang yang tempat duduknya dekat saja tak ada kemauan. Terus berdering, seolah punya maksud, menyampaikan bahwa si tuan yang sudah tak memberi kabar ratusan tahun sampai detik ini. Mereka membiarkan suara dering mengiringi ruangan itu, memanggi-manggil si tuan yang tak pernah terlihat untuk mewakili satu suara saja di negeri ini.

kriiingngng!!!

"Angkat dong!" 
"Ayo angkat!" 
"Ya, ya, angkat!" 
"Ah, ini bukan buatku!"
"Hei, Tuan, coba angkat!"
"Kalian ini modelnya maksa sekali"

Semua melingkar menatap telepon yang sudah meneteskan keluhnya, melihatkan wajah-wajah cemas, kakinya menggertak kesal dengan sepatu hitam mengkilau, satu persatu membenahi dasinya yang miring—mereka gugup. Si tuan cuek bebek akhirnya mengangkat telepon itu.

"Hallo?" 
"Hallo! Gimana sih? Kok baru diangkat sekarang? Sudah ratusan tahun berlalu, lho, bahkan sejak zaman kakek saya era Orba beliau sudah meninggal, tapi sampai saya menelepon pun masih tidak diangkat-angkat! Mana janji kalian? Katanya wakil rakyat, ya, seharusnya merakyat! Ini mendengarkan suara rakyat saja tidak! Kami ini rakyat kecil! Kami tidak tahu mau ngomong ke siapa kalo tidak kalian yang mendengarkan, makanya kalo sidang soal rakyat, jangan tidur! Kami ini tidak paham hukum, prosedurnya saja bingung! makanya kami menelpon untuk bersuara. Kami tidak tahu cara lain, kami hanya rakyat kecil yang suram, kami ingin bertanya, itu kenapa, kok, kebijakanmu hanya menguntungkan diri sendiri dibandingkan rakyat? Kami cuma ingin diperlakukan adil, kami..."
Klak!
Telepon ditutup sepihak oleh si tuan cuek bebek. 
"Kenapa ditutup?" 
"Alah! Hanya orang gila! Ko bisa hari gini salah sambung berkepanjangan, kurang kerjaan. Tinggalkan saja."
Seisi ruangan menghela nafas, seakan musibah sudah berakhir. Mereka masing-masing berjalan menuju kursinya yang halus, saat hendak duduk, telepon itu berdering lagi.

Kriiingngng!!!
Kriiingngng!!!
Kriiingngng!!!

"Buang telepon itu!" 
"Benar, buang sajalah!" 
"Mengganggu saja!"
"Aku sudah tak mau mengangkat!

Si tuan cuek bebek mendengus kesal, melupakan. Ia duduk di kursi yang empuk, dilapisi kulit asli yang dijahit secara halus, lembutnya tiada tanding. Sandarannya tinggi, menopang badan begitu berat oleh dosa-dosa menumpuk yang terkumpul dari sebuah kebijakan-kebijakan yang mereka tandatangani. Seisi ruangan gelap, seakan menyerap energi dari setiap rahasia yang dibisikkan dalam ruangan itu secara diam-diam.

Ia bukanlah seorang pencuri jalanan yang merampas secara kasar dengan golok mengkilap. Ia lebih halus, lebih lihai. Dalam laci-lacinya, bukan sekadar berkas-berkas administrasi, tetapi juga angka-angka tertata dalam laporan yang mengepul meminta diselesaikan segera, dipindahkan dari satu rekening ke rekening lain, seolah dolar itu menghunus hati para tikus-tikus rakus, mengalir mulus ke kantong-kantong gaib. Setiap proyek yang berdiri, seharusnya untuk rakyat, menciut nilainya, tercabik oleh kepentingan pribadi. Keras melantang menyuarakan bualan semata, yang akhirnya menguntungkan sang berkuasa, dasar si tuan-tuan cuek bebek.

Kembali dalam kursi si tuan, ia sedang bersantai mengenakan jas hitam andalan. Menemui rekan bisnis berpengaruh dalam meja bundar. Menyelesaikan secara kilat tanpa pertimbangan. Dampak buruk terasa jelas pada rakyat. Di luar sana, ada ayah yang mengelus kepala anaknya yang menangis kelaparan. Seorang ibu sedang menghitung uang receh untuk biaya pendidikan. Ada seorang pemuda yang mengubur mimpinya dalam-dalam karena tak mampu melanjutkan pendidikannya.

Terdengar suara langkah sepatu harga fantastis dengan desain klasik dan elegan, itu bukan sekadar sebuah alas kaki, tapi simbol status dan kekuasaan yang mencerminkan gaya hidup elit. Sungguh nikmat perjalanan menuju bandara, mereka melesehkan bokongnya di mana pun mereka mau, mobil sultan itu sangat luas dan nyaman. Setibanya, mereka menaiki pesawat jet pribadi menuju pulau yang hanya terjamah para elit-elit petinggi. Melalui proses pemeriksaan secepat kilat, dan dikawal polisi bintang tiga di pundaknya, ia berkata, "Layanan VVIP." 

"Di tawaran pertama, aku sih masih mencoba untuk idealis, ya." 
"Lalu, tawaran kedua, duh, kok bikin pusing."
"Tawaran ketiga, ah, ya, kenapa tidak?"
"Padahal, kalo dipikir-pikir, tak ada yang peduli dengan nasib dan anak cucu saya, ini juga lebih penting, loh. Kalo tidak diambil, lantas apa yang bisa saya wariskan? sikap idealis, saja? hahaha"
"Masalahnya ini digitnya puluhan dolar, susah, lho, untuk menghabiskan sebanyak ini."

Merah mengkilap menyala terlihat dari dasi milik mereka masing-masing, menandakan begitu percaya dirinya sekali. Di satu sisi, bagian bawah yang tak terdengar pula, suara-suara pekikan lantang tak berdaya dengan keputusan yang tak berpihak padanya. Ia berkata,

"Ratusan tahun negara ini melawan penjajah dari berbagai bangsa. Namun, kini ancaman bukan lagi datang dari penjajah asing, melainkan dari sesama anak bangsa yang lebih kejam dan tamak. Berlindung di balik omon-omon demi kepentingan pribadi. Inilah bentuk penjajahan era kini, para hengky pengky!"

Meja-meja menjadi saksi bisu. Menertawakan kelakuan sendiri tanpa merasa malu. Seakan dunia sebuah tempat tanpa perlindungan ilahi, melakukan perbuatan apapun yang terjadi tanpa ada yang benar-benar mengetahui. Dulu mengira neraka itu berada di akhirat. Namun, rupanya salah besar. Neraka itu ada di sini, di meja kerja yang selalu mereka bangga-banggakan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Impunitas Bukan untuk Diwariskan: Cerita dari Kamisan Pertamaku

Kau Masih Hidup, Pram, dalam Kalimat yang Tak Usai