"Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan, di mana pun ada yang mulia dan jahat.... Kau sudah lupa kiranya, Nak, yang kolonial selalu iblis. Tak ada yang kolonial pernah menindahkan kepentingan bangsamu."
“Eropa tidak berhebat-hebat dengan nama, dia berhebat-hebat dengan ilmu dan pengetahuannya. Tapi si penipu tetap penipu, si pembohong tetap pembohong dengan ilmu dan pengetahuannya.”
Dalam dunia yang terus berkembang, sejauh mata memandang, kita tak bisa lepas dari realitas yang kejam. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang semakin modern, manusia justru semakin keji dan menjadi-jadi. Anak Semua Bangsa, buku kedua dari tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, menggambarkan dunia yang sarat akan pencarian jati diri di tengah arus peradaban. Minke, seorang representasi "Bayi Semua Bangsa", dalan novel ini sangat digambarkan sangat manusiawi, ia masih naif, penuh ketakutan, keraguan, dan egonya masih mengalahkan dirinya. Bahkan Minke cenderung mengagumi Eropa, dibandingkan dengan bangsanya sendiri. Namun, dalam perjalanannya, ia kembali dihadapkan pada kenyataan pahit tentang dominasi Eropa yang ternyata malah menindas kepentingan dalam negerinya.
Pertemuannya dengan sosok-sosok yang mencerahkan semakin membuka kesadaran Minke. Ia berjumpa dengan seorang perempuan, bernama Know Ah Soe. Ia digambarkan sebagai aktivis pergerakan yang menyuarakan hak-hak rakyat pribumi, khususnya kaum Tionghoa. Keberaniannya dalam menentang sistem kolonialisme menginspirasi Minke untuk lebih memahami pentingnya perjuangan dan perlawanan terhadap ketidakadilan.
Tak ketinggalan dengan Jean Marais, seorang jurnalisis Prancis yang mengkritik kolonialisme melalui tulisan berbahasa Melayu. Ia juga menyadarkan Minke akan peran penting tulisan dalam memperjuangkan hak-hak rakyat. Bahkan Jean Marais pula yang selalu menyinggung bahwa Minke tidak mengenal bangsanya sendiri karena selalu menulis dalam bahasa Belanda tanpa mau mencoba menulis dalam bahasa Melayu. Ini juga yang mendorong Minke untuk mulai sadar dalam mengenal bangsanya sendiri.
Minke menjalani perjalanan makna hidup dengan semakin mendekatkan diri kepada semua bangsanya. Ia mulai menyadari bahwa kaum pribumi justru menderita akibat penindasan yang dilakukan oleh bangsa Eropa, bangsa yang selama ini ia kagumi. Minke menyaksikan langsung ketidakadilan yang menimpa pribumi. Dari petani yang tanahnya dirampas, buruh yang diperas oleh pemilik modal, dan berbagai ketidakadilan yang merajalela di Hindia Belanda. Dari perjalanan ini membuat Minke sadar, sebagai seorang penulis ia mempuanyai tanggung jawab untuk menyuarakan nasib bangsanya sendiri. Perjuangan bukan sekadar dirinya sendiri, melainkan untuk seluruh bangsanya. Minke pun mulai menuangkan pemikirannya melalui karya sastra, sebelum akhirnya beralih ke dunia jurnalistik. Minke meyakini bahwa tulisan dapat menjadi alat perjuangan untuk mengungkap ketidakadilan yang menimpa bangsanya, sekaligus membangkitkan kesadaran rakyat.
“Aku adalah bayi semua bangsa dari segala zaman, yang telah lewat dan yang sekarang. Tempat dan waktu kelahiran, orang tua, memang hanya satu kebetulan, sama sekali bukan sesuatu yang keramat.”
Kutipan di atas menggambarkan bagaimana Minke akhirnya memahami bahwa identitas tidak ditentukan oleh asal usul semata, tetapi oleh pilihan dan perjuangan. Menjadi "Bayi Semua Bangsa" berarti membuka diri pada nilai-nilai kemanusiaan yang menyeluruh, tetapi tidak melupakan akar dan kewajiban untuk terus membela tanah air. Ia harus berjuang untuk mengenali dan memahami bangsanya, serta berbuat untuk manusia-manusia sebangsanya.
Novel Anak Semua Bangsa bukan hanya kisah tentang kolonialisme. Ia adalah cermin perjalanan batin seorang manusia dalam menemukan jati diri, menggugat ketimpangan, dan akhirnya memilih untuk berpihak pada kebenaran. Melalui karakter Minke, Pramoedya tidak hanya mengajak kita mengenang masa lalu, tetapi juga merenungkan kehidupan masa kini.
Komentar
Posting Komentar