Curhat Klasik Mahasiswa: Ketika Tugas Kelompok Jadi Beban Hidup

coamplifi.com

Judul di atas sudah cukup kece, bukan? Relate, jujur, dan catchy. Tapi yang bikin nggak kece itu justru ketika mengerjakan tugas kelompok malah jadi beban hidup.

Dalam curhatan ini, saya ingin mengajak kita semua, termasuk diri saya sendiri, untuk berbenah diri dan mengevaluasi. Judul di atas saya kira menyuarakan jeritan-jeritan hati para mahasiswa yang mengalami hal serupa. Saya menulis ini bukan karena baper alias kebawa perasaan karena merasa paling sibuk atau paling banyak kerja. Tapi kenyataannya, ketika tugas kelompok, saya malah sibuk sendiri. Loh kok bisa?

Bagi pihak-pihak tertentu, nada dalam tulisan ini mungkin terasa mengganggu, atau justru sebaliknya. Sesuai harapan saya, semoga tulisan ini mampu menggugah pola pikir Anda untuk menjadi lebih tercerahkan. Atau mungkin malah tersindir, lalu menyadari... dan jika itu terjadi, saya anggap itu hal yang baik, semoga. Selamat membaca curhatan klasik saya sebagai mahasiswa, dengan judul yang, ya, seperti itu adanya. Walau ucapan selamat saya terdengar ambigu, mungkin. Tapi tetap saya ucapkan: selamat menyadari, dan sekaligus... terganggu.

Di sini, saya akan banyak membawa diri "saya" ke dalam tulisan ini, namanya juga curhatan, kan? Jadi, seperti yang Anda tau, saya menulis ini karena "saya" merasakan betul beban hidup sebagai mahasiswa yang masih menempuh dunia perkuliahan di semester dua. 

Seorang pengejar garis lurus di dunia yang penuh lengkung. Dalam pikiran saya, hidup ini seperti bagian dari simfoni besar yang harus harmonis, tak boleh ada satu nada pun yang sumbang. Saya hidup di antara dua dunia: keindahan keteraturan yang saya bangun sendiri, dan kenyataan bahwa dunia tak selalu bisa saya atur. Tapi tetap, saya berjalan mengejar sempurna, meski tahu itu mungkin takkan pernah benar-benar tiba. 

Tapi, apakah ada kata pembenaran bagi seseorang yang selalu ingin segalanya sempurna hingga akhirnya mengambil alih bagian-bagian yang bukan miliknya? Mungkin iya, karena di dunia ini, segalanya terasa harus memenuhi ekspektasi dalam diri. Namun, saya juga bisa bilang: sangat tidak adil jika dalam pembagian tugas kelompok yang sudah jelas itu, sebagian besar tidak dikerjakan secara merata. Seorang seperti saya pasti akan mengambil alih. Toh, jika tidak dikerja-kerjakan, mau ditunggu sampai selesai hari ketujuh setelah Idulfitri? Di balik ketekunan itu, ada kelelahan yang tidak pernah saya akui. Bagi saya, hal-hal seperti ini seperti cermin retak, tidak bisa diabaikan saja. Saya akan selalu bergerak setiap harinya, walau kadang rasanya hanya untuk menambal keretakan yang bukan saya buat.

Sulit rasanya memulai tulisan ini  secara gamblang. Karena, pada dasarnya, saya pun tidak tahu bagaimana harus memulai. Atau, mungkin saya bisa memulainya dari uraian di bawah ini, yang semoga bisa saya uraikan. Karena sesungguhnya, tulisan ini lahir dari perasaan yang terus-menerus singgah, tanpa pernah benar-benar keluar dari tempurung otak saya. Saya ulangi sekali lagi: selamat menyadari, dan sekaligus... terganggu. 

Beban Tidak Merata: Sekadar Dapat Tugas Pembagian

Dalam kerja kelompok, pembagian tugas pasti akan selalu menyertai. Ya, walaupun dalam pembagian itu sering kali hanya terdengar manis di awal. Semua terasa saling mengayomi satu sama lain. Semua sepakat, bahkan semua terlihat semangat. Namun kenyataannya, ada tipe anggota yang hanya "kebagian tugas pembagian" alias hadir saat diskusi pertama, tapi menghilang saat eksekusi dimulai. Seolah aktif saat rapat awal, namun setelah itu... sunyi. Grup chat berubah seperti ruang kosong tak berpenghuni. Hanya satu-dua orang yang mungkin update progres, sementara sisanya? Hanya membaca. Tanpa balasan, tanpa kontribusi. Atau bahkan, hanya muncul menyumbangkan satu kalimat: permintaan maaf karena sibuk. Tapi hasil kerja? Awur-awuran.

Yang lebih menyakitkan lagi, saat kita sedang sibuk-sibuknya mengerjakan tugas, tiba-tiba muncul di akhir, berkata, "Aku coba selesaikan, ya." Padahal, kesempatan untuk membantu, sudah lama lewat. Deadline tinggal sejengkal. Saya paham, semua punya kesibukan di luar tugas ini. Tapi, tidak ada pembenaran jika tanggung jawab dibiarkan begitu saja, diserahkan sepenuhnya kepada si tukang kerja yang akhirnya terpaksa angkat tangan.

Kerja kelompok. Namanya saja sudah jelas: kelompok. Seharusnya, dengan kesadaran penuh, tugas ini dikerjakan bersama, sesuai sistem dan esensi dari kerja kelompok itu sendiri. Bukan sekadar mengatasnamakan saja, tanpa tindakan nyata. Itu salah kaprah. Bukannya kita berkuliah untuk belajar tanggung jawab juga?  Untuk memahami bagaimana cara bekerja sama, bukan hanya pandai berkata “siap” di awal, lalu lenyap saat dibutuhkan? Pada titik ini, kerja kelompok kehilangan makna kolaboratifnya. Tugas seharusnya terasa ringan karena dikerjakan secara bersama, justru menjadi beban sepihak. Dan ini bukan hal baru. Ini curhat klasik yang dirasakan banyak mahasiswa.

Jadi, bagaimana? Apakah uraian pertama saya di atas, menyadarkan... atau malah membuat Anda terganggu? Sesungguhnya, dalam hidup ini, tak ada yang benar-benar membuat kita merasa aman. Segalanya mengganggu. Sama halnya dengan tulisan ini. Maka biarlah rasa terganggu itu tetap ada, di sekitar Anda. Lanjut ke uraian kedua.

Kilat di Ujung Waktu 

Entah siapa yang memulai, tapi kalimat, "otak bakal cepat ketika mepet deadline" sudah menjadi semacam mantra turun-temurun dikalangan mahasiswa. Memang terdengar lucu saat dibicarakan, bahkan sering jadi bahan candaan di grup. Tapi di balik itu, ada budaya yang tanpa sadar sedang kita pelihara: budaya menormalisasi produktivitas berbasis panik. Dan bagi seorang yang mengejar kesempurnan, hal itu sungguh menganggu. Tugas yang dikerjakan dalam kondisi mendesak tidak bisa maksimal karena tidak dipikirkan secara matang. 

Banyak dari kita memang kesulitan fokus saat waktu masih longgar. Menganggap bahwa menunda adalah jalan pintas yang diulang-ulang. Lama-kelamaan kebiasaan itu mengakar. Meski tugas akhirnya tetap selesai, tetap dikumpulkan tepat waktu, kenyataannya ini adalah sebuah paradoks: kita menyelamatkan hasil, tapi mengorbankan proses. Terlihat produktif, padahal sedang tersesat dalam pola yang buruk. 

Masalahnya, kebiasaan ini tidak hanya terjadi dalam tugas individu, tapi juga terasa sangat dalam tugas kelompok. Selalu ada momen klasik: tugas sudah dibagi sejak jauh-jauh hari, beberapa anggota sudah mulai menyusun, berdiskusi, bahkan merapikan. Tetapi ada saja yang diam, melempem. Sampi akhirnya, ketika waktu sudah mepet, muncullah mereka, membawa segala bantuan di detik-detik akhir.  Mereka ini bisa dijuluki sebagai "kilat di ujung waktu." Datang tiba-tiba, mengerjakan secepat kilat bagiannya. Kadang hasilnya cukup baik, kadang seadanya. Tapi pertanyaannya: kehadiran mendadak itu, apakah bentuk tanggung jawab... atau sekadar demi menjaga nama?

Fenomena ini mencerminkan dua hal: 

Pertama, betapa budaya produktif karena panik telah dianggap wajar. Kedua, betapa kerja kelompok tidak sekadar soal kerja, tapi soal karakter, komunikasi, dan tanggung jawab. 

Sebab dalam sebuah tim, keterlambatan satu orang saja bisa mengganggu ritme kerja semua orang. Tugas kelompok seharusnya menjadi wadah untuk belajar bekerja sama, bukan hanya tempat untuk menyamarkan beban pribadi dalam nama “kerja tim”. Dan untuk itu, maka dibutuhkan kesadaran penuh dalam diri kita bahwa tanggung jawab dalam tugas kelompok bukan hanya soal menyelesaikan, tapi juga soal hadir sejak awal dan bekerja secara kelompok.

Antara Inisiatif dan Terpaksa

Terkadang, peran sebagai ketua kelompok atau menjadi anggota yang paling aktif, bukan datang dari niat yang amat mulia untuk memimpin, melainkan dari keadaan yang memaksa. Awalnya, mengambil inisiatif: mengajak diskusi, membagi tugas, dan menyusun timeline. Tapi seiring waktu, inisiatif itu perlahan redup, berubah menjadi keterpaksaan. Niat awalnya hanya mengoordinasi, tapi makin lama ikut membantu mengerjakan bagian orang lain. Dari yang tadinya cuma memastikan semua berjalan, malah menjadi orang yang mengerjakan hampir semua. Bukan karena ingin disebut pahlawan kelompok. Tapi karena tahu, kalau tidak dikerjakan sekarang, ya, tugas itu tidak akan pernah selesai.

Ini dilema klasik dalam tugas kelompok: ingin menunggu anggota lain bergerak mengerjakan bagiannya, tapi sadar kalau waktu terus berjalan. Akhirnya diam-diam memilih untuk mengerjakan. Bukan karena rela, tapi karena tidak punya pilihan lain. Di sinilah pilihan "inisiatif" dan "terpaksa" menjadi kabur tiada. Dan yang lebih menyakitkan lagi ketimbang anggota kelompok yang muncul di akhir waktu, yaitu: ketika tugas akhirnya selesai, semua anggota kelompok tetap mendapatkan nilai yang sama. Seolah-olah semua turut ambil bagian.

Relate? Jadi, apakah kamu orang yang awalnya inisiatif tapi akhirnya terpaksa karena keadaan? Atau justru… kamu yang tersindir?

Kita lanjut ke bagian yang paling menyakitkan terakhir.

Kuliah Beda Ekspektasi, Tugas Kelompok Sama Saja

Saat kita memasuki dunia perkulihan, kita datang membawa ekspektasi yang melambung tinggi. Tentang teman-teman yang suportif, dosen yang inspiratif, dan kerja kelompok yang solid. Kita membayangkan lingkungan mahasiswa yang penuh tanggung jawab, inisiatif tinggi, dan bisa bekerja sama dengan sehat. Namun, rupanya tidak semua seperti itu. 

Tapi ternyata, ekspektasi hanyalah ekspektasi. Perkuliahan memang beda dengan masa SMA dulu. Ruang kelas yang bebas, dosen tidak banyak menuntun seperti guru, dan kita diberi kebebasan untuk menentukan cara belajar sendiri. Tapi, soal tugas kelompok? Masih dengan cerita lama: ada yang kerja, ada yang diam, ada yang baru muncul ketika waktu sudah mendekati batas akhir.

Dari sinilah saya menyadari, bahwa tidak semua mahasiswa hadir dengan membawa diri dengan semangat kolaborasi yang aktif. Ternyata, menjadi "mahasiswa" tidak serta-merta menjadi seseorang lebih bertanggung jawab. Itu semua tidak membawa kedewasaan.  Saya pun mulai bertanya-tanya, apakah ekspektasi saya terlalu tinggi, atau memang realitanya yang terlalu mengecewakan?

Yang jelas, satu hal menjadi semakin nyata: tugas kelompok yang kita jalani saat ini, meskipun dalam suasana kuliah yang lebih bebas dan terbuka, dan banyak menemui status "mahasiswa" akan tetap menyimpan cerita lama.  Cerita tentang pembagian beban yang tidak merata. Cerita tentang seorang inisiatif yang terpaksa. Dan cerita tentang anggota yang muncul bagai “kilat di ujung waktu", dan mendadak aktif saat detik-detik terakhir, lalu menghilang kembali setelah tugas dikumpulkan. Itu, nyata adanya.

Sudahkah kita berbenah dari sini?

Saya, sebagai penulis, pun terus mencoba. Bukan untuk orang lain, tapi demi membentuk versi diri yang lebih baik. Mari mulai dari diri kita sendiri: belajar lebih giat, terlibat lebih aktif, dan terbuka pada pengalaman, bahkan dari hal-hal yang tidak kita pahami sekalipun. Karena pada akhirnya, semua itu akan berbuah… untuk diri kita sendiri.

Segala yang kita kerjakan, diam-diam sedang membentuk siapa diri kita nanti. 

Tulisan ini saya buat bukan untuk menyinggung siapa pun. Tapi jika ada yang merasa tersinggung, mungkin sudah saatnya untuk mulai menyadari.

Salam hangat, dari saya.









Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengapa Memilih Jurusan Sastra Indonesia? Bukannya Hanya Main Kata-Kata?

Kau Masih Hidup, Pram, dalam Kalimat yang Tak Usai