Aku Hanya Aku

Aku memang bukan siapa-siapa, bukan anak orang kaya ataupun anak yang memiliki jalan yang mudah mendapatkan segalanya di atas bumi pertiwi ini. Akses? apa pun, segala macamnya, satu pun tak ada. Tapi, bukankah kita semua sama? Sama-sama makhluk bernapas di bawah langit yang sama? Lantas, apa kebenaran bagi mereka yang menganggap jalan yang aku tempuh terasa begitu salah? 

Aku anak ibuku, bundaku, duniaku. Tak ada yang lain. Cukup. Mereka? Siapa mereka? Aku tak tahu pasti isi kepala mereka, tak tahu pasti pemikiran yang mereka anut. Satu hal yang aku tahu, mereka terlalu ikut campur. Jika dunia ini hanya untuk ikut-ikut, maka siapa yang akan mendobrak dunia, mengubah masa depan yang lebih cerah, mencari sebuah kebenaran.

Aku memang bukan anak yang bisa memuaskan dunia, memuaskan hati atau omongan orang. Aku berdiri dengan kesendirian, menatap sayu menahan lebam, tak pula iri dengan dunia siapa-siapa. Tindakan atas pijakan kaki yang aku tatih, ini milikku. Aku yang punya. Hidup ku sendiri. Apa ada bagian kalian? Tak ada, dan bukan. Lalu, kenapa? Semua terasa begitu menyakitkan, sangat-sangat menyakitkan. Tatapan mata yang begitu kerap serta omongan yang tak berkesudahan. Dasar. 

Aku hanya untuk ibuku. Duniaku hanya ibuku. Bahagia, mimpi, segalanya. Jika kau banyak sekali bincangan, sama saja kau mencela segala perjalanan ku menuju itu. Dan aku tak akan diam. Bahan bakar akan terus penuh karena semua hinaan dangkal kalian. 

Perihal gagal. Ada apa dengan kegagalan? Apa yang salah? Jika memang gagal hanya menjadi bahan omongan dan cemooh. Buat apa bermimpi? Buat apa ada berusaha? Buat apa ada perjuangan dalam hidup? Gagal bukan kutukan. Gagal adalah bagian dari perjalanan. Maka dari itu aku mau gagal. Aku mau menghabiskan jatah gagalku. Aku mau membungkam semua itu. 

Aku akan terus gagal, dan aku akan terus bangkit. Karena dari luka dan jatuh, aku belajar berdiri. Dan kalian? Kalian hanya menonton perjalanan hidup ku.

Dan aku belum selesai.

Aku hanya aku. 

Belum sempat selesai dengan semua, yang selalu berkata, "dunia selalu tidak adil."

Memandang dunia dengan mata iri, bergumam pada kenyataan semu, dan selalu saja membawakan pada jalan hidup yang kelam. Tak ada akhirnya.

Aku hanya bertumpu pada diri yang amatir, berpegang teguh dengan segala kekhawatiran yang ada, bahwa hidupku ini sangat amat keluh.

Selalu bersandai-andai.

Andai hidup mau membawaku jauh ke dalam penuh khidmat. Agar aku bisa hidup dengan tenang.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengapa Memilih Jurusan Sastra Indonesia? Bukannya Hanya Main Kata-Kata?

Kau Masih Hidup, Pram, dalam Kalimat yang Tak Usai